Bahagia Itu Mahal

Belakangan ini saya sering nglangut wal ngalamun sedikit dicampur merenung. Di usia saya yang sekarang ini, yang notabene sudah memasuki usia dewasa, saya merasa belum menghasilkan prestasi apa pun dalam urusan dunia maupun akhirat. Tinggal masih numpang, kuliah baru semester tiga dan masih juga dibayarin, kerja pun belum dan belum punya pengalaman. Sementara amal akhirat juga tanda tanya besar. Tak ada prestasi apa pun yang saya yakini bisa mengangkat derajat saya di sisi Sang Maha Pencipta. Meskipun tentu saja semangat untuk menjadi hamba yang diridhai Allah tetap ada.


Sementara itu, waktu hidup saya di dunia tentu saja semakin berkurang. Semakin digerogoti umur. Badan tak sekuat dulu lagi. Pikiran semakin putek gak karuan, gak kayak dulu nggak ada beban pikiran blas. Padahal keinginan dan cita-cita yang dikejar masih banyak yang belum terwujud.

Saya melihat, beberapa kerabat saya yang sekarang sudah bekerja mapan. Kakak-kakak kelas yang dulu imut-imut sekarang jadi amit-amit, ternyata sudah berumah tangga dan punya rumah sendiri walaupun itu nyicil. Kalo dipikir, ternyata mereka nyicilnya sampai belasan tahun sampai pecicilan, membiayai sampai biayakan. Sekarang baru berjalan lima tahunan. Masih betahun-tahun lagi lunas. Itu pun direwangi mandi keringat kokot bolot wal daki di siang hari, dan nangis-nangis saat tahajud minta rezeki di malam hari, padahal mbayar rumah pake riba. Tak beda jauh dengan beberapa rekan saya yang kontan karena memang sudah naik mobil kinclong. Tak semuanya kontan, namun ada juga yang kontan karena memang sudah sugeh kongtinental akibat ketiba warisan dari bokapnya.

Dengan melihat kondisi saya yang masih jauh dari itu semua, yang mana tangan ini masih terlalu pendek untuk menggapainya, maka untuk punya sebuah rumah dibutuhkan waktu 15 tahun lagi. Apalagi untuk memiliki keluarga ideal yang dikondisikan oleh lingkungan masyarakat yang harus punya ini dan itu... tambah jauh rasanya.....


Namun saya merenung lagi, apa betul keluarga yang ideal dan bahagia itu harus selalu punya ini dan itu sebagai syaratnya? Coba sampeyan perhatikan iklan-iklan produk yang semuanya menawarkan konsumerisme itu. Produsen sabun berkata, "Belilah sabun ini, maka hidup anda akan lebih sehat." Developer berceloteh, "Milikilah rumah di sini, maka keluarga anda akan sejahtera." Bank ndobos," Ngutanglah pada kami, hidu anda akan terjamin." Produsen mobil nggabrul, "Miliki mobil ini, maka hidup anda akan lebih bahagia." Sampai-sampai yang namanya produsen CD wal celana abdi dalem juga menawarkan kenyamanan hidup dengan penawarannya, "Pakailah CD kami, hidup anda akan terasa lebih nyaman."

Kesejahteraan, kenyamanan, kebahgiaan dan jaminan hidup selalu dikaitkan dengan memiliki itu, mengendarai itu, memakai ini dan mengantongi itu. Konsep hidup semacam ini akan menjadi siksaan bagi mereka yang makannya senen-kemis, dimana kalo senen ya nyenen, kalo kemis ya ngemis. Bagi kalangan elit alias ekonomi sulit, buat mereka baik senen maupun kemis ya ngemis.

Bagi kalangan yang gak kuat iman, konsep hidup di atas mau tak mau dibiayai dengan dana korupsi. Maka disini berlaku aturan "Korupsilah, tanpa korupsi cita-cita tak akan tercapai!" Mengapa begitu? Karena konsep kebahagiaan, kesejahteraan, dan kenyamanan hidup yang ditawarkan oleh lingkungan sekitar kita membutuhkan cost yang tak murah. Maka tertanam pada diri kita semua... "Bahagia itu mahal." Mengapa? Karena bahagia itu adalah kesejahteraan dengan punya ini dan itu, kesehatan dengan program sehat ini dan itu, kenyamanan dengan memakai ini dan itu.

Saya jadi berpikir, kelihatannya kemampuan saya tidak akan bisa membiayai harga kebahagiaan yang ditawarkan oleh konsep yang secara sadar atau tidak telah dianut oleh kebanyakan gundul manusia ini. Untuk itulah saya merenung. Jika untuk punya ini dan itu secara komplit bak jamu, dibutuhkan waktu paling tidak 20 tahun lagi, sementara hidup di jangka waktu itu kudu ngempet wal rekoso... maka di saat selesai tidak sempat menikmatinya atau mungkin cuma beberapa saat saja... itu pun kalo saya dikasih umur seumur kanjeng Rasulullah SAW.

Maka pastilah ada yang salah dengan konsep kebahagiaan yang mahal itu. Satu pesan kanjeng Rasulullah SAW menunjukkan, shalat sunnah 12 rakaat sehari semalam bisa buat beli rumah di surga. Shalat 2 rakaat sebelum subuh ganjarannya lebih baik daripada dunia dan seisinya. Belajar satu ayat dari firman Allah lebih baik dari mendapat keuntungan 2 ekor unta merah. Lhadalah... ha kok rumah di surga mudah dapetnya gampang temen, dan bikin ati tentrem. Beda dengan perjuangan nyari rumah di dunia. Dan tampak harga dunia itu murah, tak lebih mahal dari shalat 2 rakaat sebelum subuh.

Maka di sisa waktu yang Allah berikan ini saya bertekad, bolehlah gak punya ini dan itu di dunia, yang penting tidak mlarat di akhirat sana. Syukur-syukur datang rezeki tak terduga itu di saat yang tepat. Maka dengan konsep hidup yang seperti inilah, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kenyamanan hidup bisa menjadi milik semua orang tanpa memandang tipisnya kantong.

Sampeyan boleh punya konsep hidup yang berbeda. Toh masing-masing punya kebahagiaannya sendiri.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

kalau kebahagiaan itu murah, sudah pasti rakyat MERDEKA!!! jika mereka punya segalanya,, kenapa anda tidak???
yakinlah, apa yang kamu perbuat hari ini sebagai permulaan untuk esok dan masa mendatang,, apa yang kamu keluarkan menjadi sebab dan mengalir kembali pada diri anda sebagai akibat<<

INGATLAH:
"hidup di dunia dipersulit untuk mengimbangi iman, dan akherat dipermudah untuk mereka yang beriman"^^
jazakallah khaira

^_^ mengatakan...

^ Ajarilah kami Menikmati hal-hal yang Sederhana ^

Posting Komentar

Berlangganan posting lewat email

Masukkan alamat email anda:

Delivered by FeedBurner


Anak Indonesia Harapan Masa Depan

↑ Grab this Headline Animator


penerus_harapan_bangsa
 
Indonesia POLRI BNN STMIK Swadharma logo_sma_muga